Sabtu, 14 November 2015

Explore Wisata Religi di Kota Kudus




Kudus adalah  kota terkecil di jawa tengah yang memiliki luas sekitar 42.516 Ha, yang mana merupakan bagian jalur pantai utara , berupa jalur setrategis Surabaya – Semarang- Jakarta, yang sangat penting dan setrategis tentunya, Kota Kudus di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan  Demak dan Kecamatan Jepara, sedangkan di daerah utara berbatasan dengan Kecamatan  Jepara dan Pati, di bagian selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan dan Pati di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten  Pati.

Kota Kudus merupakan kota industry dan pedagang yang mana berlatar belakang agamis, kota industy bisa dilihat dari banyakmya industry yang dibangun di kota baik berupa industry menengah ke atas atau menengah ke bawah, industry menengah ke atas seperti banyaknya pabrik rokok Djarum, Sukun, Nojorono yang sebagian besar warga Kudus menggantungkan hidup dari karyawan pabrik rokok tersebut, contoh lain adalah pabrik kertas yang banyak berdiri di kota kudus, seperti PT Pura Barutama yang merupakan pabrik kertas terbesar di Kabupaten Kudus, sedangkan industry menengah ke bawah seperti industy konveksi, makanan ringan seperti jenang kudus, sirup jahe, madu mongso, dan marning, sedangakan kota pedagang yang berlatar belakang agamis, bisa dilihat banyaknya pedagang yang berjualan di area wisata Sunan Kudus dan Sunan Muria yang mana banyak warga yang menggantungkan hidup di daerah tersebut dan berharap banyak peziarah yang datang mengunjungi tempat tersebut.

Kota Kudus sebagai kota religi atau pusat wisata religi karena banyaknya obyek wisata di Kudus yang berbau religi khususnya Agama Islam,dintara wisata religi di Kabupaten Kudus adalah, obyek wisata Menara Kudus, obyek wisata  makam Sunan Kudus, obyek wisata Makam Sunan Muria, obyek wisata  air terjun Montel, obyek wisata Rejenu, obyek wisata Makam Bagus Rinengku dan Dewi Nawangsih, makam Pangeran Puger, makam Kyai Tlingsing, makam Sidomukti, Petilasan Kaliyetno, dan ada juga peringatan keagamaan tertentu seperti Buka Luhur, Dhandangan, dan Kupatan serta banyak lagi acara keagamaan di Kota Kudus.

Perjalanan pertama di mulai pusat Kota Kabupaten Kudus, yaitu di Komplek Masjid Menara Kudus tepat nya di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, yang mana Masjid Menara Kudus yaitu Masjid Al Aqsha atau Masjid Al Manar yang di banguan oleh Sunan Kudus yang memiliki nama asli Ja’far Shidiq pada 1549 M ,yang nama Masjid Al Aqsha berbentuk unik karena memiliki menara yang berbentuk seperti candi  yang di susun dengan bahan baku batu bata merah di bangun oleh Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa, pada 1.685 M, yang bertempat di komplek menjadi kebanggaan masyarakat Kudus, di mana Menara Kudus di bangun dengan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam yang mana masyarakat Kudus dulu beragama Hindu dan Budha, seperti para walisongo lainnya, Sunan Kudus pun mempunyai cara berdakwah diantaranya melakukan adapatasi ajaran agama islam di mayoritas masyarakat yang beragama hindu dan budha dan sebagai bukti dari peninggalan Sunan Kudus adalah Menara Kudus.

Menurut sejarah Sunan Kudus bukanlah asli Kudus akan tetapi bersal dari Kota Al Quds , Negara Palestina, jika di urutkan berdasarkan nasab keturunan, Sunan Kudus merupakan keturunan ke 24 dari Nabi Muhammad SAW, yang mana Sunan Kudus bersama kakek, ayah dan kerabatnya hijrah ke pulau Jawa untuk mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Kudus di kenal sebagai Wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik dan seniman, dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga yang mana juga di kenal toleran terhadap budaya jawa, sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam pengajaran agama dan budaya setempat.

Perjalanan kedua kita bergeser ke Desa Demaan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, di tempat tersebut terdapat makam Pangeran Puger, yang dibangun pada tahun 1928 M, nama sebenarnya dari Pangeran Puger adalah Raden Kurawi yang berasal dari Mataram, Dalam Sejarah mengatakan bahwa beliau merupakan putera kedua Panembahan Senopati, Raja pertama Mataram Islam. Nama kecilnya adalah R.M. Kejuron. Akan tetapi, karena Pangeran Puger lahir dari seorang selir bernama Nyai Adisara, tahta kerajaan jatuh kepada adiknya, Panembahan Sedo Ing Krapyak. Beliau merupakan putera kesepuluh Panembahan Senopati, yang lahir dari Permaisuri. menurut cerita Pangeran Puger pernah menjadi Senopati pada Kerajaan Demak Bintoro yang pada saat tersebut terjadi perang antar saudara yang memperebutkan daerah kekuasaan, karena hasutan Singopadon, Pangeran Puger pernah di penjara di Demak, setelah keluar dari penjara beliau berguru pada Sunan Kudus, beliau merupakan salah satu penyebar agama Islam di Desa Demaan Kudus Kota.

Perjalanan ketiga menuju Desa Sunggingan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah di tempat tersebut terdapat makam Kyai Tlingsing,yang lebih dulu dari  Sunan Kudus yang sama mensyiarkan agama islam di Kudus, beliau juga merupakan salah seoarang Guru dari Sunan Kudus. Nama kyai Tlingsing berasal dari panggilan sederhana beliau yaitu The Ling Sing,yang merupakan Ulama dari Luar Negeri bersama dengan Laksamana Cheng hoo beliau adalah seorang muslim asal kota Yunan, Tiongkok yang menjadi cikal bakal muslim Tiong hoa di Kudus, yang mana masyarakat Kudus masih mayoritas Beragama Hindu dan Budha, dan kedua nya berhasil mengembangkan dakwah di daerah Kudus, hingga agama Islam maju dengan pesatnya di Kota Kudus, semasa hidup beliau di kenal sebagai seorang ahli lukis asal Dinasti Sung yang memiliki motif yang khas, selain itu beliau juga seorang pedagang dan seorang mubaligh yang trekemuka, diantara sabda Kyai Tlingsing adalah “Sholat Sacolo Saloho Donga Sampurna” artinya sholat adalah sebagai doa yang sempurna, “Lenggahing Panggeran Tersetihing Ngaji” artinya menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji, dan sebagian orang mengatakan bahwa beliau dalah seorang pemahat, dari aliran sun ging, yang mana nama sun ging menjadi kata nyunging yang artinya memahat atau mengukir, menurut cerita Sunan Kudus pernah di datangi tamu dari tiongkok, yang mana Sunan Kudus meminta Kyai Tlingsing untuk membuat cinderamata untuk tamu dari Sunan Kudus Tersebut, dan Kyai Tlingsing membuat kendi dan diserahkanlah kendi tersebut pada Sunan Kudus, dan rupanya Sunan Kudus kurang berkenan akan pemberian Kyai Tlingsing tersebut, yang menurutnya biasa saja, dan kurang pantas jika di jadikan cinderamata bagi tamu nya asal Tiongkok tersebut, dengan perasaan kecewa Sunan Kudus memecahkan kendi tersebut, sehingga kendi tersebut pecah, sehingga terlihatlah lukisan indah yang berada di dalam kendi tersebut, berupa kalimah syahadad, beliau pun merasa kaget menunjukkan kekagumanya pada sosok Kyai Tlingsing, betapa Kyai Tlingsing adalah seseoraang yang memiliki karomah.

Perjalanan ke empat menuju ke Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, tepatnya pada makam Sidomukti (makam keluarga Adipati Ario Condro Negoro III) , yaitu makam Adipati Aryo Condro Negoro yang mana merupakan Bupati Kudus pada Zaman Hindia Belanda, yang mana daerah kekuasaan beliau meliputi Kabupaten Kudus dan Pati, yang pada saat itu masih satu wilayah kekuasaan, di dalam makam Sidomukti terdapat makam R.M.P Sosrokatono merupakan adik dari R.A Kartini merupakan guru spiritual Sukarno, beliau mengusai 26 bahasa dan pernah menjadi wartawan dari Indonesia yang bergabung dengan New York Times pada tahun 1971, ada 3 ajaran beliau yang terkenal adalah : ngelurug tanpo bolo, menang tanpo nagsorake, sepi ing pamrih rame ing gawe.

Selanjutnya perjalanan bergeser kearah utara, menuju Desa Colo, Kecatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di obyek Makam Sunan Muria yang berada di lereng Gunung Muria, yang mana untuk mencapai tempat tersebut perlu perjuangan dengan menapaki beribu anak tangga dari beton untuk mencapai area komplek makam, atau dengan naik ojek dengan biaya terjangkau tentunya, sejarah Sunan Muria, nama asli beliau adalah Raden Umar Said, Bapak beliau adaalah Sunan Kalijaga dan Ibu beliau adalah Dewi Soejinah, berbeda dengan Sunan Kalijaga, karena beliau lebih suka menyepi, lebih suka bertempat di daerah terpencil jauh dari pusat kota dalam menyebarkan agama Islam, beliau di kenal sebagai Sunan Muria, karena makam beliau yang beliau yang berada di Gunung Muria, yang mana Gunung Muria berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, Sunan Muria suka bergaul dengan rakyat jelata dengan mengajarkan berbagai keterampilan diantaranya adalah bercocok tanam, berdagang dan melaut, karena beliau berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana, Kudus dan Pati, masih di Desa Colo, terdapat wisata air terjun montel yang raamaai di kunjungi karena suasana nya masih sejuk dan asri, selanjutnya bergeser lagi di puncak Argowiloso tepatnya  di daerah Rejenu, di obyek ini terdapat makam Syech Sadzali, sebuah musholla dan tiga sumber mata air tiga rasa, yang memiliki rasa yang berbeda beda, rasa yang pertama agak sepet sepeerti cola, rasa yang keduaaagak asin, rasa yang ketiga yaitu rasa tawar.

Perjalanan ke enam menuju Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe , Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, yang tepatnya di daerah perbukitan Dukuh Masin di tempat tersebut terdapat Makam Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku, Dewi Nawangsih salah seorang putri dari Sunan Muria yang berparas cantik, sedangkan Raden Bagus Rinagku adalah salah seorang murid dari Sunan Muria yang terhitung cerdas dan beretika pada saat itu, dan beliau merupakan putra dari pangeran di Pandanaran, menurut legenda Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Ringaku adalah sepasang kekasih yang telah mengikat janji untuk mengarungi hidup bersama, tetapi hubungan kedua nya tidak di restui dengan Sunan Muria yang merupakan ayah dari Dewi Nawanngsih, karena Dewi Nawangsih akan di jodohkan dengan salah seorang murid dari Sunan Muria, untuk menjauhkan putrinya dengan Raden Bagus Rinangku agar terkesan baik, Sunan Muria memilki rencana untuk memberikan tugas tugas yang berat kepada Raden Bagus Rinangku, tugas pertama adalah membasmi perusuh di sekitar Pegunungan Muria, yang selalu membuat sewenang wenang dengan merampok dan merampas harta warga dan telah banyak korban, jika Raden Bagus Rinangku gagal maka Raden Bagus Rinangku akan amaati dan tidak dapat bertemu putriku lagi, tapi takdir berkata lain, Raden Bagus Rinangku berhasil menyelesaikaan tugas dan kembali dengan keadaan selamat, mengetahui Raden Bagus Rinangku Berhasil, Sunan Muria memberi tugas lain kepada Raden Bagus Rinangku yaitu menjaga daerah persawahan di daerah Masin yang kebetulan di Tanami padi yang sedang menguning, mendapat tugas tersebut  Raden Bagus Rinangku tetap mejalankan walupun dengan berat hati meninggalkan kekasih dalam waktu yang tidak tentu, telah sekian lama dan tidak ada kabar dari Raden Bagus Rinangku, membuat Dewi Nawangsih menjadi rindu berat pada Raden Bagus Rinangku, pada akhirnya Dewi Nawangsih pun menyusul Raden Bagus Riangku di daerah Masin, menyadari putrinya tidak ada di tempat Sunan Muria memerintahkan beberapa santri untuk memeriksa di daerah Masin, apakah memang Dewi Nawangsih berada di sana, dan memang benar di dapati Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku dengan memadu kasih di gubuk kecil di tengah sawah, mendapati hal tersebut seorang santri pun kembali ke Pesantren untuk melapor pada Sunan Muria, bahwa Raden Bagus Rinangku tidak menjalankan tugas nya untuk mejaga area persawahan dan membiarkan burung burung berpesta menghabiskan padi yang telah menguning, malah memadu kasih di gubug di tengah area persawahan, mendengar hal tersebut Sunan Muria bergegas menuju daerah Masin untuk melihat hal yang sebenarnya, dan kenyataan memang benar, burung burung telah berpesta padi pun habis di makan burung, melihat hal tersebut Sunan Muria meminta Raden Bagus Riangku untuk mengembalikan butir butir padi yang di malan oleh burung, Raden Bagus Rinangku pun meminta maaf pada Sunan Muria dan sanggup mengembalikan butir padi yang telah di makan oleh burung, Raden Bagus Rinangku pun berdo’a dan membaca mantra atas ijin Tuhan yang Maha Esa dengan sekejab area persawahan tersebut kembali sedia kala dengan kondisi padi utuh, melihat demostrasi ilmu dari Raden Bagus Rinangku tersebut membuat Sunan Muria menjadi marah dan menganggap bahwa Raden Bagus Rinangku menyaingi ilmu dari Sunan Muria sendiri, dengan perasaan marah Sunan Muria mengambil panah dan mengarahkan anak padah pada Raden Bagus Rinangku, dengan maksut untuk menakuti nakuti, tanpa sengaja anak panah tersebut terlepas sehingga mengenai Raden Bagus Rinangku sampai ke punggung, sehingga robohlah beliau dan kehabisan nafas, melihat kondisi tersebut Dewi Nawangsih pun berlari menuju Raden Bagus Rinangku dengan menubruk Raden Bagus Rinangku yang tanpa Dewi Nawangsih sadari bahwa anak panah masih menancap pada tubuh Raden Bagus Rinagku, dan akhirya Dewi Nawangsih pun juga tertusuk sehingga kedua nya meninggal secara bersamaan, kedua nya pun di makamkan secara bersama sama dengan upacara penguburan jenazah yang di pimpin oleh Sunan Muria, dan setelah acara penguburan tersebut masih ada yang meratapi Raden Bagus Riangku dan Dewi Nawangsih, di Bukit Masin tersebut, melihat hal itu pun Sunan Muria pun berkata “Bagaikan Pohon Jati saja Kalian Semua, berdiri terpaku di atas bukit” seketika itu pun manusia manusia yang di maksutkan berdiri terpaku dan manjadi pohon jati di atas bukit Masin, hingga sekarang dan di keramatkan oleh penduduk sekitar.

Perjalanan ke tujuh menuju Desa Ternadi, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, depatnya pada Petilasan Kaliyetno, yang mana tempat semedi Sunan Kalijaga dalam memjaga tongkat amanat dari guru beliau yaitu Sunan Bonang, ada beberapa versi asal dari nama kaliyetno yang pertama kaliyetno berasal dari kata kali artinya sungai, yet artinya lumut dan no yang artinya tidak ada jika di rangkai, kata kaiyetno yang artinya sungai yang tidak ada lumutnya versi kedua menyebutkan kaliyetno bersal dari kata kali berarti sungai dan yetno yang artinya mayite kono, jika di rangkai mempunyai arti sebagai tempat pertapaan,  menurut legenda terdapat pemuda berandal bernama Loka Jaya panggilan muda Raden Syahid (Sunan Kallijaga), suatu ketika Loka Jaya bertemu Sunan Bonang dan hendak merampok Sunan Bonang, tetapi Loka Jaya tidak berhasil merampok Sunan Bonang, sebagai nasehat buat Loka Karya, Sunan Bonang pun menunjuk sebatang pohon jati, dan berubahlah pohon jati tersebut menjadi emas, berdasarkan kejadian tersebut Loka Jaya takjub akan ilmu yang dimiliki oleh Sunan Bonang, timbul keinginan untuk berguru pada Sunan Bonang oleh Loka Jaya, untuk di terima menjadi murid Sunan Bonang cukup sulit bagi Loka Jaya, yaitu Loka Jaya harus menjaga tongkat Sunan Bonang yang di tancapkan, untuk beberapa waktu sampai Sunan Bonang datang dan mengambil kembali tongkat tersebut, permintaan tersebut pun di sanggupi oleh Loka Jaya hingga berhasil mengemban amanat oleh Sunan Bonang, setelah berhasil Loka Jaya di perintahkan oleh Sunan Bonang untuk berdakwah di Daerah Demak, sesampainya di Demak nama Loka Jaya di Ganti dengan Sunan Kalijaga oleh Sunan Bonang.hingga sekarang di sekitar petilasan tersebut cukup rindang oleh pepohonan, dan tumbuh pula bambu yang menurut legenda merupakan tongkat yang di tancapkan oleh Sunan Bonang.

Tidak hanya tempat tersebut yang menjadi obyek sejarah dalam waktu tertentu pun bebrapa tempat bisa menjadi obyek wisata karena suatu event religi :

Buka Luwur merupakan upacara pergantian kain penutup makam yang berlangsung setiap tahun sekali, untuk Buka Luwur Sunan Kudus di adakan pada setiap penanggalan 10 Syuro, sedangkan Buka Luwur pada Sunan Muria setiap penanggalan 16 Syuro, dan pada puncak acara biasanya terdapat pembagian nasi selamatan dan bekas kain penutup makam, dan sebagian orang yang beranggapan bahwa memakan nasi selamatan dan memyimpaan potongan kain buka luhur kan mendatangan keselamatan dan keberuntungan bagi orang tersebut dan keluarganya.

Dhandangan merupakan tradisi masyarakat di Kota Kudus untuk menyambut puasa pada bula Ramadhan, pelaksanaan kegiatan tersebut di sekitar Masjid Al Aqsho Menara Kudus sampai di Simpang Tujuh, Pusat Kota Kudus, Sejarah Dhandangan berasal dari Bedug di Menara Kudus yang di pukul hingga mengeluarkan suara, Suara tersebut yang disebut dhandangan, yang pada saat itu bertujuan untuk mengumpulkan santri untuk mendengarkan pengumumam awal bulan Ramadhan yang di sampaikan oleh Sunan Kudus. Moment tersebut pun di manfaatkan masyarakat sekitar untuk berjualan di sekitar masjid Menara Kudus, berlebih sampai jalan di Simpang Tujuh Kudus.

Kupatan merupakan tradisi yang di selenggarakan di Kota Kudus, yang di adakan pada hari ke tujuh setelah Hari Raya Lebaran Idul Fitri, ada beberapa daerah di Kudus yang menyelenggarakan acara Kupatan diantaranya adalah :
-          Di Bulusan, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus
-          Di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus  
-          Di Sendang Jodo, Desa Purworejo, Kemaatan Bae, Kabupaten Kudus
-          Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus

Demikian adalah Artikel yang mengulas mendalam khusus wisata religi yang berada di Kota Kudus, yang mempunyai nilai historis yang luhur di setiap tempatnya, mudah mudah dapat memberikan informasi, baik untuk pembaca artikel ini, dan juga peziarah.

Sumber : Wikipedia.com
Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar